30 Tahun Srisasanti Syndicate
Pameran Bersama
Pada usia ke-30
Hampir 50 tahun yang lalu, sebuah bangunan rada kecil di Jalan Gereja Theresia, Jakarta, jadi sebuah titik temu yang menarik: di sana seniman bertemu—sastrawan, perupa, musisi— berbincang-bincang, bekerja, beristirahat, berdebat, saling meledek, saling memuji, bermusuhan, mencipta.
Gedung yang tak mencolok itu disebut “Balai Budaya.” Ia didirikan di tahun 1954, dulu dikelola Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, sebuah organisasi yang mempertemukan pelbagai tokoh dan organisasi seniman Indonesia—sebuah lembaga yang dalam perkembangan waktu menghilang pelan-pelan. Kini Balai Budaya sudah bertahun-tahun seperti anak yatim piatu yang tak tahu siapa pengayomnya, tak pasti siapa yang punya otoritas di sana.
Tapi ia bisa disebut satu peninggalan sejarah seni modern Indonesia—khususnya seni rupa. Di zaman sebelum kata “galeri” dikenal, Balai Budaya sudah jadi tempat pameran yang produktif—mungkin satu-satunya di Jakarta.
Dalam banyak hal, ia bisa disebut galeri seni rupa pertama. Dengan catatan: sebenarnya ada beberapa pameran diselenggarakan di Jakarta sebelumnya, misalnya di Gedung Kunstkring di wilayah Menteng, Jakarta, yang didirikan di tahun 1914. Juga beberapa bulan setelah Kemerdekaan, di akhir 1945, ada pameran lima hari yang diselenggarakan Kementerian Penerangan pemerintah yang baru. Tempatnya di ruangan yang kini bagian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Jalan Salemba, dengan menampilkan antara lain karya Basuki Abdullah, Affandi, Emiria Sunassa, Rusli, S.Soedjojono.